Pertentangan Anak-anak dan Sikap Sang Ayah yang Diam Membisu

Oleh Daud Amarato  |  Profil




Suatu ketika hiduplah seorang ayah bersama belasan orang anaknya. Setiap anak dalam keluarga ini memiliki sifat yang berbeda-beda. Adapun ragam sifat dan kelakuan masing-masing anak tersebut dapat digambarkan dalam beberapa kategori, sebagai berikut: (1) Ada anak yang sangat tunduk dan patuh kepada sang Ayah, baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan; (2) Ada anak yang sesungguhnya berpikiran baik, namun perkataan dan perbuatan berbeda dengan pikirannya karena dipengaruhi oleh situasi dan lingkungan sekitar; (3) Ada juga yang kebalikan dari nomor (2), yakni: berpikiran tidak baik, namun perkataan dan perbuatan terkesan sopan dan ramah, yakni berlakukan munafik; (4) Ada pula anak yang pikiran, perkataan dan perbuatan selalu mengganggu anak-anak lainnya; (5) Ada lagi anak yang memiliki pikiran, perkataan dan perbuatan yang merupakan kombinasi dari empat kategori sebelumnya. 

Dalam kebersamaan sehari-hari dari sejumlah anak tersebut, ada anak yang terlihat hebat berorasi sekaligus memiliki nyali yang sangat besar. Katakan saja ia bernama ‘Hebori’ (hebat orasi dan bernyali). Oleh karena itu, ia menjadi anak yang berpengaruh dalam rumah itu, bahkan ia berhasil memiliki pengikut karena terlihat hebat tersebut. 

Pengaruh si Hebori itu merambat hingga ke tetangga dan warga sekitarnya. Hebatnya lagi, secara diam-diam, si Hebori juga memiliki pengikut dari anak-anak tetangga dan warga sekitarnya. Semakin hari pengikutnya makin bertambah sejalan dengan semakin seringnya ia berorasi dengan nyali yang kian bergelora. 

Bermodalkan potensi yang dimilikinya sebagaimana terurai di atas, hampir setiap hari si Hebori membuat ulah yang kadang kala menimbulkan kegaduhan bagi orang-orang di sekitarnya. Bahkan dalam beberapa kejadian si Hebori membawa-bawa nama Sang Ayah dalam aksi-aksinya. Sikap dan perilaku si Hebori ini nyaris tak terkendali. Apapun yang ia katakan dan lakukan selalu dianggap benar oleh para pengikutnya. Jumlah pengikutnya yang kian bertambah, membuat si Hebori semakin merasa besar dan gagah. 

Suatu saat terjadilah pertentangan yang tak terelak antara si Hibori dengan anak-anak lain yang semakin terganggu dengan lagak dan ulahnya. Kumpulan anak-anak terbagi atas tiga kelompok besar, yakni: (1) Para Penentang si Hebori (kelompok kontra); (2) Para Pendukung si Hebori (kelompok pro); dan (3) Anak-anak yang tidak mau memihak (kelompok netral atau non-blok). 

Hal yang menarik untuk disimak adalah adanya sejumlah perdebatan yang sering berkecamuk di antara kelompok pro dan kontra tersebut. Pertentangan pro kontra dari kedua belah pihak itu senantiasa terjadi dengan frekuensi dan interval yang cukup intensif, serta selalu disaksikan atau didengar oleh anak-anak dari kelompok netral. 

Anak-anak dari kelompok netral tersebut sering kali menertawakan perilaku dari anak-anak kelompok pro maupun kontra. Adapun hal-hal yang menjadi bahan tertawaan mereka adalah: Pertama, dua belah pihak sama-sama saling menganggap dirinya benar. Ada yang sebenarnya memang benar, tetapi cara menyatakan kebenarannya menggunakan cara yang salah, antara lain merendahkan atau menghina pihak lawan, arogan, bahkan menggunakan kekerasan. Ada pula yang pada dasarnya sudah salah dan berani menggunakan cara-cara yang salah untuk mempertahankan dirinya. 

Kedua, kelompok pro maupun kontra sama-sama menganggap serta memiliki keyakinan yang kuat dan teguh bahwa mereka akan dibenarkan oleh sang Ayah. Kelompok pro merasa sang Ayah akan berbangga dan membenarkan sikap dan perilaku si Hebori. Demikian pula sebaliknya dari pihak kontra, meyakini bahwa si Hebori akan dihukum Sang Ayah. 

Rupanya mereka lupa bahwa hal yang sedang terjadi hanya anggapan mereka secara sepihak. Lebih parahnya lagi masing-masing pihak bersikap dan bertindak berdasarkan keyakinan semata, tanpa ditunjang dengan data dan rasionalitas yang memadai. Hal ini dapat terbaca dari argumen-argumen yang terungkap sebagai upaya pembenaran diri. 

Sementara itu, sang Ayah tetap diam membisu merenungkan sikap dan perilaku anak-anaknya itu. Sang Ayah ini tidak serta merta menunjukkan keberpihakannya pada salah satu pihak. Tentunya sebagai seorang ayah yang baik, ia sangat menyadari bahwa dirinya merupakan Ayah dari kedua belah pihak. Sang Ayah tetap menyayangi semua anak-anaknya, tanpa membeda-bedakan satu terhadap yang lain. Hanya pikiran sepihak dari anak tertentu yang merasa bahwa ia adalah anak yang layak di mata Sang Ayah, lalu menganggap bahwa anak-anak lain tak pantas disebut anak ayah, seolah-olah anak yang lain bukan anak dari Sang Ayah tersebut. Selain itu, Sang Ayah sungguh menyadari bahwa anak-anaknya sudah dewasa, sehingga mereka bisa mencari dan menemukan sendiri solusi atas konflik atau pertentangan yang terjadi. 

Dalam situasi seperti ini, jika ada anak yang menyalahkan Sang Ayah atas diamnya, apa lagi menuding bahwa Sang Ayah berpihak kepada anak tertentu merupakan sikap yang emosional. Demikian pula dengan mereka yang membangun klaim sepihak bahwa Sang Ayah akan berpihak kepadanya, merupakan fenomena yang sering menjadi bahan tertawaan anak-anak dari kelompok netral nan kritis. Kelompok netral menganggap bahwa sikap itu merupakan tindakan emosional kekanak-kanakan, yang akan membuat pertentangan tak kunjung berakhir. Kelompok netral ini berharap agar kedua belah pihak sebaiknya menahan diri serta berupaya mencari solusi terbaik yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. 

Saudaraku, fenomena sebagaimana tertuang dalam kisah di atas, sering kali terjadi dalam kehidupan kita sebagai makhluk sosial. Pikiran, waktu dan tenaga kita sering terkuras untuk saling menyerang, sembari membenarkan diri masing-masing. Ada orang yang membiarkan dirinya terbawa dalam arus pertentangan yang cenderung sia-sia dan tak berujung. Ia lupa bahwa pertentangan mesti segera diakhiri dengan mengambil sikap bijak. 

Menyikapi fenomena seperti di atas, hal bijak yang dapat dilakukan adalah: Pertama, masing-masing pihak pro maupun kontra mesti introspeksi diri dengan bercermin pada tiga hal, yakni: (1) Gunakan ketentuan yang berlaku sebagai acuan dalam mengukur perilaku; (2) Ber-empaty, yakni mencoba untuk membalik keadaan jika kita diperlakukan tidak wajar, bagaimana perasaan kita. Tentu hal ini membuat kita bisa meresapi perasaan orang lain; dan (3) Berdiam diri sejenak untuk mendengarkan hati nurani; Ketiga cermin ini biasanya akan membantu siapapun untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Bukan membangun pembenaran diri yang dilatari oleh asumsi-asumsi emosional. Dengan introspeksi diri, biasanya dapat membangun kesadaran dan objektivitas, sehingga masing-masing pihak akan menyadari kekeliruannya sekaligus memahami kebenaran pihak lain secara objektif. 

Kedua, waspada. Jika semua pihak bisa waspada, maka ia akan mampu menahan dirinya, dan niscaya semua akan baik-baik saja. Dengan waspada, orang-orang yang bersangkutan tidak akan terjebak dalam sikap saling menghakimi, serta tidak akan terpengaruh dan terbelenggu oleh kepentingan sesaat. 

Ketiga, rendah hati, terutama rendah hati untuk mendengarkan pihak lain. Dengan adanya kerendahan hati, maka semua pihak akan sadar bahwa sikap dan tindakan arogan maupun emosional tak bisa menolongnya untuk menemukan kebersamaan dan kedamaian. Semua makhluk sosial tentu sangat membutuhkan kebersamaan yang penuh kedamaian itu. 

Berkaca dari cerita di atas, semua pihak perlu melakukan ketiga hal di atas. Melalui introspeksi diri akan membuat seseorang menjadi waspada. Lalu waspada akan membuatnya menjadi rendah hati serta berbesar hati untuk mendengarkan pendapat yang berbeda guna membangun keseimbangan dalam hal berpikir, berkata, bersikap dan bertindak. Dengan demikian pada akhirnya akan terwujud kebersamaan sebagai makhluk sosial yang aman, tentram dan penuh kedamaian. Salam damai…


Posting Komentar untuk "Pertentangan Anak-anak dan Sikap Sang Ayah yang Diam Membisu"